Senin, 11 Mei 2009

RENUNGAN CINTA

Renungan Cinta

Mencintai dan dicintai adalah hal yang diinginkan oleh setiap orang. Cinta
antara orang tua dan anaknya, suami dengan istri, kakak dengan adik atau antara
sesama manusia. Tak jarang beberapa benda-benda kesayang pun tak luput dari
cinta kita, seperti mobil, baju, hp, komputer,dll. Semuanya manusiawi.

Namun kita perlu waspada ketika cinta kita kepada anak, istri, suami, kakak,
adik dan orang tua bahkan harta benda telah membuat kita jauh atau bahkan lupa
kepada Sang pemilik Cinta yang hakiki.

Saat kita menikah, kita telah dianggap telah melaksanakan 1/2 dari agama.
Artinya yang setengahnya lagi harus kita gapai bersama pasangan didalam mahligai
rumah tangga. Idealnya, setelah menikah harusnya kualitas keimanan dan ibadah
suami istri semakin meningkat dibandingkan saat sebelum menikah. Kalau dulu
waktu masih singgle sholat fardhu sendiri, setelah menikah bisa berjama'ah
bersama istri atau suami. Waktu masih sendiri susah sekali bangun malam untuk
menjalankan sholat tahajud, setelah menikah ada suami atau istri yang akan
membangunkan kita untuk mengajak tahajud bersama. Intinya yang dulu biasa
dilakukan sendiri kini bisa dilakukan bersama dan tentunya ada yang berperan
sebagai pengontrol atau pembimbing mungkin suami sebagai qowwam akan lebih
berperan dalam membimbing istrinya dalam hal peningkatan kualitas ibadahnya.
Mulai dari sholat bareng, tilawah bareng atau mengkaji al qur'an dan hadist
bareng. Harapannya dengan menikah maka makin terbentang luas ladang amal bagi
kita, sehingga istilah menggenapkan dien untuk pernikahan itu benar adanya.

Namun tak jarang pula, saat kita mencitai makhluk atau benda membuat kita jauh
atau bahkan melupakan Dia sang pemilik cinta. Misalnya, saat sebelum menikah
sangat aktif dalam majelis dakwah, sholat selalu tepat waktu, tilawah setiap
abis sholat magrib, tahajud pun tidak ketinggalan dan bahkan puasa sunnah senin
kamis pun masih rajin dilakukan. Namun keadaan menjadi terbalik setelah menikah,
sholat jadi sering telat, puasa sunah sudah jarang dilakukan, tilawah hampir
tidak pernah lagi apalagi bangun tengah malam untuk tahajud.

Semuanya dilakukan diluar kesadaran kita, karena cinta kita kepada mahkluk lebih
besar dari pada Sang pencipta makhluk. Mungkin bagi seorang istri kesibukan
seharian bekerja atau mengurus anak bisa dijadikan excuse untuk sholat tidak
tepat waktu, untuk tidak tilawah dan meninggalkan tahajud. Toh mengurus anak,
suami dan rumah tangga juga merupakan ibadah. Begitu juga bagi suami, excuse
kesibukannya dalam bekerja untuk memberi nafkah anak dan istri telah membuat dia
lupa untuk sholat berjama'ah, tahajud, tilawah dan bahkan peran sebagai qowwam
yang harusnya dia lakukan untuk membimbing keluarganya telah terlupakan.

Tak jarang pula yang beranggapan bahwa "hubungan" suami-istri, sudah cukup
memberikan nilai ibadah bagi mereka. Dengan kata lain jika ada aktifitas ibadah
yang lebih ringan untuk dikerjakan kenapa harus mencari yang berat atau susah
untuk dilakukan seperti tahajud, tilawah atau sholat berjama'ah.

Gambaran diatas hanya sepenggal kisah dari kecintaan kita pada makhluk melalui
ikatan pernikahan. Belum lagi kecintaan kita kepada anak setelah mereka kita
lahirkan. Bisa jadi kita bisa lebih jauh lagi dari Sang pemilik cinta karena
cinta kita kepada anak.

Saya ingat nasehat Aa Gym dalam ceramahnya, "hati-hati jika mencintai makhluk,
jangan sampai karena hadirnya makhluk cintamu kepada Sang pencipta makhluk
menjadi berkurang, karena suatu saat nanti makhluk yang kamu cintai itu bisa
saja diambil dari kamu"

Pergaulan Yang Buruk Merusak Kebiasaan Baik



Ada tertulis...
Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak,
tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi
malang.

Karena tidak mampu berenang, seekor
kalajengking suatu hari meminta seekor kura-kura
agar memberinya tumpangan di punggung untuk
menyeberangi sungai. "Apa kamu gila?" teriak
kura-kura itu. "Kamu akan menyengatku pada saat aku
berenang dan aku akan tenggelam".

Kalajengking itu tertawa sambil menjawab,
"Kura-kura yang baik, jika aku menyengatmu, engkau
akan tenggelam dan aku akan ikut bersamamu. Kalau
begitu, apa gunanya? Aku tidak akan menyengatmu
karena ini berarti kematianku sendiri!"

Untuk beberapa saat, kura-kura itu berpikir
tentang logika dari jawaban tersebut. Akhirnya dia
berkata, "Kamu benar. Naiklah!". Kalajengking itu
naik ke punggung kura-kura tadi. Namun baru setengah
jalan, dia menyengat kura-kura itu dengan sengit.

Sementara kura-kura mulai tenggelam perlahan-lahan
menuju dasar sungai dengan kalajengking di atas
punggungnya, dia mengerang dengan pedih, "Kamu sudah
berjanji, namun sekarang engkau menggigitku!
Mengapa? Sekarang kita sama-sama celaka."

Kalajengking yang tenggelam itu menjawab dengan
sedih, "Aku tidak dapat menahan diri. Memang sudah
tabiatku untuk menyengat."

Pelajari karakter seseorang sebelum menjadikannya
sebagai kawan. Peran yang dia mainkan akan
mempengaruhi kehidupan Anda!

wassalam